HENTIKAN KRIMINALISASI PERS DI BELITUNG
Oleh: Mahmud Marhaba
Ketua Umum DPP Pro Jurnalismedia Siber (PJS)
Sebanyak 23 media online di Belitung dilaporkan oleh seseorang berinisial HP ke Polres Belitung atas dugaan pencemaran nama baik. Hal ini dibuktikan dengan surat pemanggilan yang diterbitkan oleh Polres kepada 23 wartawan di daerah tersebut.
Pada Rabu, 19 Februari 2025, salah satu wartawan dijadwalkan untuk menghadap penyidik Lidik 2 Tipiter Polres Belitung, sesuai dengan surat yang ditandatangani langsung oleh Kasat Reskrim AKP Patah Meilana, S.I.K., MH.
Latar Belakang Kasus
Berdasarkan keterangan beberapa wartawan di Belitung, kasus ini bermula dari pemberitaan sejumlah media online mengenai dugaan penipuan dalam proses pendaftaran calon kepala daerah di Belitung. Seiring berjalannya waktu, wartawan kembali menerbitkan berita yang mempertanyakan progres Polres Belitung dalam menangani kasus tersebut.
Akhirnya, terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak untuk berdamai dengan mengembalikan dana yang pernah diserahkan dalam proses pencalonan kepala daerah. Perdamaian ini ditindaklanjuti dengan penghentian perkara oleh Polres Belitung, sebagaimana dibuktikan dengan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Alasan Pelaporan oleh HP
HP melaporkan 23 media atas dugaan pencemaran nama baik karena merasa dirugikan oleh pemberitaan sebelum kesepakatan damai. Menurut HP, sejumlah wartawan tidak meminta keterangan langsung darinya sebelum menerbitkan berita.
Setelah SP3 diterbitkan, HP mengadakan konferensi pers. Namun, hanya sedikit wartawan dari media yang sebelumnya menerbitkan berita tersebut yang hadir dalam acara tersebut. Beberapa wartawan yang dilaporkan mengaku tidak mengetahui adanya konferensi pers tersebut. Akibatnya, 23 media dilaporkan ke Polres Belitung atas dugaan pencemaran nama baik, dan beberapa media akhirnya menghapus berita mereka atas permintaan pihak HP.
Perspektif PJS terhadap Kasus Ini
Sebagai Ketua Umum DPP PJS, saya memandang bahwa kasus ini merupakan sengketa pers terkait produk jurnalistik. Meski ada kekurangan dalam penerapan hak jawab sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kasus ini seharusnya diselesaikan dalam ranah etik jurnalistik, bukan hukum pidana.
Terkait kasus yang telah dilaporkan ke Polres Belitung, penting untuk memahami bahwa:
- Pemberitaan yang dilakukan oleh 23 media merupakan produk jurnalistik, bukan berita bohong atau hoaks.
- Dalam menangani kasus jurnalistik, aparat penegak hukum (APH) wajib berkonsultasi dengan Dewan Pers. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Dewan Pers dan Polri Nomor: 01/PK/DP/XI/2022 dan Nomor: PKS/14/XI/2022 tentang Teknis Pelaksanaan Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terhadap Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Pasal 5 butir (a) menyatakan bahwa jika Polri menerima laporan terkait pemberitaan media pers, mereka harus berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk menentukan apakah kasus tersebut merupakan produk jurnalistik atau bukan.
- Produk jurnalistik yang telah dipublikasikan menjadi tanggung jawab pemimpin redaksi. Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi APH untuk memanggil wartawan atas laporan terkait karya jurnalistik.
Seruan kepada Polres Belitung
Sebagai Ketua Umum DPP PJS dan Ahli Pers Dewan Pers, saya meminta Polres Belitung, khususnya Kapolres Belitung, untuk segera berkonsultasi dengan Dewan Pers dalam menangani kasus ini.
Penting bagi kita untuk menempatkan perkara ini dalam tatanan yang benar agar tidak terjadi kesalahan dalam penanganannya. Kriminalisasi terhadap wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik harus dihentikan demi menegakkan kebebasan pers di Indonesia.

No comments: